Di tengah upaya meningkatkan akses layanan kesehatan, Puskesmas seringkali dihadapkan pada situasi pelik: penolakan pasien terhadap tindakan medis. Fenomena ini tidak hanya menguji keterampilan tenaga kesehatan, tetapi juga memicu pertanyaan mendasar tentang batas hak individu, tanggung jawab profesional, dan konsekuensi hukum. Bagaimana seharusnya petugas Puskesmas bersikap ketika pasien menolak pengobatan yang berpotensi menyelamatkan nyawa?
Antara Otonomi Pasien dan Kewajiban Penyelenggara Kesehatan
Prinsip etika medis mengakui hak pasien untuk menolak tindakan medis berdasarkan informed consent. Namun, di Puskesmas—terutama di daerah terpencil—penolakan sering kali dipicu oleh faktor non-medis, seperti keyakinan budaya, ketidakpahaman, atau ketidakpercayaan terhadap sistem kesehatan. Misalnya, seorang ibu hamil menolak rujukan ke rumah sakit karena takut biaya, meski kondisinya mengancam jiwa. Di sini, tenaga kesehatan dihadapkan pada dilema: menghormati keputusan pasien atau memprioritaskan kewajiban menyelamatkan nyawa.
Secara etika, otonomi pasien adalah hak asasi. Namun, ketika penolakan berisiko menyebabkan kematian atau kecacatan permanen, pertanyaannya menjadi: apakah keputusan tersebut benar-benar “bebas”? Jika pasien tidak memahami risiko karena keterbatasan informasi, apakah penolakannya sah secara moral? Di sinilah peran tenaga kesehatan untuk memastikan informed consent bukan sekadar formalitas, tetapi proses komunikasi dua arah yang transparan.
Kerangka Hukum yang Membingungkan
Di Indonesia, UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menjamin hak pasien untuk menolak tindakan medis. Namun, undang-undang yang sama juga mewajibkan tenaga kesehatan memberikan pertolongan darurat. Kontradiksi ini menciptakan ketidakpastian. Misalnya, jika pasien menolak transfusi darah karena alasan agama, apakah petugas bisa dituntut jika terjadi kegawatdaruratan? Di sisi lain, melanggar keputusan pasien berpotensi melanggar hak asasi.
Kasus nyata pernah terjadi di Puskesmas Sulawesi, di mana seorang pasien diabetes menolak amputasi. Keluarga memilih pengobatan tradisional, dan kondisi pasien memburuk hingga meninggal. Meski secara hukum petugas tidak bisa dipaksa bertanggung jawab, beban moral tetap menghantui. Di sini, batas antara “menghormati keputusan” dan “abai pada tugas” menjadi sangat tipis.
Dampak pada Tenaga Kesehatan
Dilema ini tidak hanya soal keputusan hitam-putih. Tenaga kesehatan di Puskesmas sering mengalami moral distress—perasaan bersalah atau frustrasi karena tidak bisa bertindak sesuai nilai profesional—akibat situasi penolakan pasien. Apalagi di daerah dengan sumber daya terbatas, tekanan untuk “berbuat sesuatu” sering kali bertentangan dengan prinsip etika.
Jalan Keluar: Edukasi dan Kebijakan yang Jelas
Solusi jangka panjang memerlukan pendekatan multidimensi:
- Pelatihan Etika Klinis: Tenaga kesehatan perlu dibekali keterampilan komunikasi dan analisis kasus etik untuk mengambil keputusan berbasis nilai.
- Sosialisasi Hukum Kesehatan: Pemahaman tentang UU Kesehatan dan pedoman KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) harus diperkuat agar petugas tidak ragu bertindak dalam keadaan darurat.
- Peningkatan Literasi Masyarakat: Edukasi tentang hak dan risiko medis dapat mengurangi penolakan yang bersifat preventable.
- Kebijakan Rujukan yang Responsif: Pemerintah perlu menyederhanakan mekanisme rujukan darurat agar Puskesmas tidak sendirian menghadapi dilema ini.
Kesimpulan
Penolakan pasien di Puskesmas adalah cermin kompleksitas interaksi antara hak individu, budaya, dan sistem kesehatan. Tanpa kerangka etik dan legal yang jelas, tenaga kesehatan akan terus terjebak dalam konflik batin dan risiko hukum. Diperlukan kolaborasi antara pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan di mana otonomi pasien dihormati tanpa mengorbankan nyawa.