Informed consent atau persetujuan yang didasarkan pada informasi lengkap merupakan salah satu pilar utama dalam praktik kesehatan. Di Puskesmas, sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan masyarakat, penerapannya tidak hanya menyangkut etika medis tetapi juga aspek legal yang wajib dipatuhi. Artikel ini akan membahas kerangka hukum, tantangan, dan solusi terkait informed consent di lingkungan Puskesmas.
Dasar Hukum Informed Consent di Indonesia
Di Indonesia, informed consent diatur dalam beberapa regulasi. Pertama, UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menegaskan bahwa setiap pasien berhak mendapatkan informasi lengkap tentang tindakan medis yang akan dijalani. Kedua, UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengamanatkan bahwa dokter atau tenaga kesehatan wajib menjelaskan diagnosis, risiko, alternatif pengobatan, dan prognosis kepada pasien sebelum memperoleh persetujuan. Selain itu, Kode Etik Kedokteran Indonesia (KEKI) juga menekankan prinsip otonomi pasien, di mana persetujuan harus diberikan secara sadar dan tanpa paksaan.
Di lingkungan Puskesmas, aturan ini menjadi acuan untuk memastikan bahwa setiap tindakan medis—baik pemeriksaan rutin, imunisasi, hingga rujukan—dilakukan dengan persetujuan yang sah. Tanpa informed consent, tenaga kesehatan berisiko menghadapi sanksi hukum, seperti gugatan perdata atau pelanggaran etik.
Tantangan Penerapan di Puskesmas
Meski aturannya jelas, penerapan informed consent di Puskesmas kerap menghadapi kendala. Pertama, keterbatasan pemahaman masyarakat. Pasien dengan latar belakang pendidikan rendah atau kurangnya literasi kesehatan sering kesulitan memahami penjelasan medis yang teknis. Akibatnya, persetujuan yang diberikan mungkin tidak benar-benar “informed”.
Kedua, keterbatasan sumber daya. Tenaga kesehatan di Puskesmas sering harus melayani jumlah pasien besar dalam waktu singkat, sehingga proses penjelasan informed consent menjadi tergesa-gesa. Selain itu, tidak semua Puskesmas memiliki formulir informed consent yang mudah dipahami atau dalam bahasa lokal.
Ketiga, kasus darurat. Dalam situasi gawat darurat, seperti kecelakaan atau persalinan risiko tinggi, memperoleh persetujuan pasien atau keluarga secara utuh bisa menjadi tantangan. Regulasi memperbolehkan pengecualian informed consent dalam kondisi mengancam nyawa, tetapi batasan ini seringkali ambigu dan berisiko disalahartikan.
Solusi dan Rekomendasi
Untuk mengatasi tantangan tersebut, beberapa langkah bisa diambil:
- Pelatihan Berkelanjutan untuk Tenaga Kesehatan
Puskesmas perlu mengadakan pelatihan tentang komunikasi efektif dan penyusunan informed consent yang sederhana. Misalnya, menggunakan bahasa sehari-hari atau visual untuk menjelaskan prosedur medis. - Pembuatan Formulir yang Inklusif
Formulir informed consent sebaiknya tersedia dalam bahasa daerah atau dilengkapi ilustrasi untuk memudahkan pasien memahami isinya. - Penguatan Kolaborasi dengan Tokoh Masyarakat
Melibatkan tokoh adat atau agama dalam sosialisasi tentang hak pasien dapat membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap prosedur medis. - Pemanfaatan Teknologi
Aplikasi digital atau video edukasi bisa menjadi alat bantu untuk menjelaskan tindakan medis secara lebih interaktif, terutama bagi pasien yang kurang paham membaca.
Kesimpulan
Informed consent bukan sekadar formalitas administratif, melainkan komitmen hukum dan etika untuk menghormati hak pasien. Di Puskesmas, penerapannya harus disesuaikan dengan konteks sosial dan kultural masyarakat setempat tanpa mengabaikan ketentuan perundangan. Dengan meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan, menyederhanakan prosedur, dan melibatkan masyarakat, Puskesmas dapat menjadi contoh penerapan informed consent yang legal, etis, dan manusiawi.